Kali
ini, saya akan bercerita mengenai sebuah pengalaman mengesankan saat berkunjung
ke sebuah dusun yang sarat Budaya dan Panorama alamnya yang menakjubkan, sebuah
tempat yang bisa menjadi alternatif untuk merelaksasi diri dan memahami arti
kehidupan dan rasa syukur, Dusun Tutup Ngisor, Desa Sumber, kecamatan Dukun,
Magelang, Jawa Tengah.
Perjalanan ini sebenarnya bukanlah sebuah perjalanan wisata, melainkan sebuah perjalanan dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Sosiologi Kebudayaan. Awal berangkat ke tempat ini masih terasa ogah-ogahan sebab sebagaimana yang terjadwal pada kalender akademik, mahasiswa UNS tempatku berkuliah seharusnya telah menikmati libur akhir semester, namun dikarenakan perkuliahan mundur beberapa saat, liburpun tertunda. Akhirnya, sampailah saya pada pengalaman yang cukup mahal di Dusun ini. Tutup Ngisor Secara Resmi Belumlah menjadi lokasi wisata, oleh karena itu, sebagian besar masyarakat belum mengenalnya pada skala nasional jika dibanding Borobudur, ataupun hutan pinus Kragilan.
Padepokan
seni “Cipto Budoyo” adalah tempat yang kami pilih sebagai lokasi utama
penelitian, melalui koordinasi yang sangat baik dan penerimaan yang sangat baik
dari pemerintah serta pengurus padepokan, kami berkesempatan untuk menginap
selama 3 hari 2 malam. masyarakat sekitar juga sama, masih sangat
mempertahankan keramahan khas pesona indonesia, sebuah warisan yang tak boleh
hilang ditengah derasnya arus globalisasi seperti saat ini.
Satu
hal yang membuatku terkesan, oleh karena berada di lereng gunung merapi, dusun
ini memiliki suhu yang tak seperti suhu rata-rata daerah tropis, suhu pada saat
subuh bahkan menyentuh 150 Celcius. Bisa dibayangkan, saya yang
berasal dari kota khatulistiwa ini menahan dingin yang luar biasa, sleeping bag
dengan kaki dan tangan bersarungpun tak mampu mengusir dingin yang seperti
menusuk kulit. Hal ini bertahan hingga siang, bahkan ketika matahari telah
terbitpun, suhu didusun ini tak pernah menyentuh 250 Celcius.
Kebetulan, salah satu teman kelas kami berasal dari Nigeria, dia bahkan harus
lari-lari saat pukul 02.00 pagi hanya supaya badannya terasa sedikit hangat.
Pagi
di dusun ini begitu menakjubkan, kita bisa menikmati dua suguhan pemandangan
sekaligus, yaitu pesona indahnya matahari terbit disisi timur, sekaligus
bersinarnya puncak sindoro-sumbing disisi barat. Bagaimana mungkin momen ini
bisa dilewatkankan. Sebagai informasi, pemandangan indah puncak sindoro dan
sumbing pada saat pagi hanya bisa dilihat maksimal jam 10.00-an pagi, mengapa?
Karena diatas jam itu langit mulai kabut dan menutup jarak pandang ke arah
merapi maupun sindoro-sumbing.
Sebaliknya,
pada saat senja, pemandangan kebalikannya akan terjadi, kita akan sangat takjub
dengan pemandangan puncak merapi dan merbabu yang menjingga, malah, merapi
terlihat seperti gunung fuji yang tengah diselimuti salju namun terkena sinar
matahari sore. Pemandangan matahari terbenam disini juga sangat menakjubkan,
kita dengan mudah melihat matahari tebenam yang ditambah dengan pemandangan
hamparan sawah yang begitu indahnya. Saya takjub, bahkan foto yang diabadikan
dengan kamera biasa diatas jembatan Mangunsuko saja begitu terasa mempesona.
Kemudian,
saya harus ceritakan tentang kearifan lokal di dusun ini, di padepokan tempat
kami menginap. kami mendapatkan informasi yang sangat menarik, dimana setiap
malam jumat, masyakarat dan anggota padepokan akan selalu mengadakan ritual tiap
malam jumat sebagai wujud rasa syukur dan pemujaan kepada Tuhan YME atas
kehidupan yang aman dan tentram di dusun, termasuk keselamatan dalam urusan
pertanian. Sore sebelumnya, masyarakat akan berkumpul di rumah tokoh masyarakat
dengan membawa makanan untuk didoakan terlebih dahulu yang kemudian akan dibawa
kembali ke rumah. Hal ini, setidaknya mengajarkan kami untuk selalu besyukur
atas apa yang Tuhan berikan lewat perantara Alam yang begitu murah hati
membagikan kesejahteraanya.
Ritual
bermain Gamelan juga terasa begitu sakral, hal ini karena tidak hanya sekedar
bermain musik, namun didalamnya terdapat sebuah prosesi yang bertujuan untuk
berhubungan langsung dengan sang Penguasa. itulah mengapa permainan gamelan ini
selalu rutin dimainkan sekalipun tidak ada yang menonton. Ritual memainkan
gamelan ini biasanya berlangsung mulai jam 20.00 hingga 24.00 malam. Hadir
disini, kita bisa benar-benar merasakan betapa Indonesia ini sangat amat kaya
dengan Segenap pesonanya, satu diantaranya adalah Pesona Budayanya.
Tak
cukup-cukup rasanya kalimat untuk menceritakan pengalaman penuh kenangan ini, Pada
akhirnya, saya harus menyatakan bahwa saya kagum dan takjub dengan alam dan
budaya Tutup Ngisor, tak terkecuali masyarakatnya yang begitu ramah, bahkan
dengan kendala bahasa jawa yang saya alami, saya dan masyarakat sekitar masih
bisa berinteraksi paling tidak dengan berbalas senyuman. Saya menyebut tutup
ngisor ini dengan istilah “ruang dimana Alam dan Kearifan lokal bersinergi”,
tentang bagaimana masyarakat menempatkan alam sebagai mitra, bukan sebagai
objek pemenuh kebutuhan semata. Disini, Kita bisa belajar memaknai hidup
sekaligus menikmati betapa indahnya Ciptaan Sang Maha Kuasa.
Ada
harapan besar supaya suatu saat, tempat ini benar-benar menjadi sebuah desa
wisata yang maju, anpa menghilangkan kearifan lokal dan pengabaian terhadap
kualitas lingkungannya, mengingat saat ini sektor pariwisata menjadi sektor
pemasukan negara nomor dua setelah pajak, maka sudah saatnya kita semua
bersinergi mengenalkan pesona Tutup ngisor, tanpa ada satu pihakpun yang merasa
dirugikan. Magelang punya banyak pesona yang belum tersingkap, saya percaya,
semakin kita mengenali negeri kita, semakin kita akan mencintainya. (AK)
NAMA :
AAN KHOSIHAN
TEMPAT,
TANGGAL LAHIR : TEBS, 7 MARET 1992
JENIS
KELAMIN :
LAKI-LAKI
STATUS :
MAHASISWA
ALAMAT : gang awan 1, jalan Kabut, Jebres, Surakarta.
Created At : 2018-09-04 00:00:00 Oleh : ANASTASIA TITISARI WIDYASTUTI Artikel Dibaca : 598